Rabu, 25 Agustus 2021

Penumbuhan dan Pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alat dan Mesin Pertanian (UPJA)

 


Pendahuluan

Dalam rangka mengoptimalkan peran dan fungsi kelembagaan yang ada di perdesaan, khususnya kelembagaan usaha yang bergerak di bidang jasa alat dan mesin pertanian (alsintan), maka pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 25/Permentan/PL.130/5/2008 tanggal 22 Mei 2008 tentang Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alat dan Mesin Pertanian (UPJA).

Usaha Pelayanan Jasa Alat dan Mesin Pertanian yang selanjutnya disebut UPJA adalah suatu lembaga ekonomi perdesaan yang bergerak di bidang pelayanan jasa dalam rangka optimalisasi penggunaan alat dan mesin pertanian untuk mendapatkan keuntungan usaha baik di dalam maupun di luar kelompok tani/gapoktan.

Sedangkan fungsi utama kelembagaan UPJA yaitu melakukan kegiatan ekonomi dalam bentuk pelayanan jasa alsintan dalam penanganan budidaya seperti jasa penyiapan lahan dan pengolahan tanah, pemberian air irigasi, penanaman, pemeliharaan; perlindungan tanaman termasuk pengendalian kebakaran; maupun kegiatan panen, pasca panen dan pengolahan hasil pertanian seperti jasa pemanenan, perontokan, pengeringan dan penggilingan padi; termasuk mendorong pengembangan produk dalam rangka peningkatan nilai tambah, perluasan pasar, daya saing dan perbaikan kesejahteraan petani.

Keberadaan UPJA didaerah sentra produksi tidak saja menjadi solusi dalam mengatasi kebutuhan alsintan bagi petani untuk mengolah lahan pertanian, pengairan, panen dan pasca panen, tetapi juga menjadi solusi dalam mengatasi kelangkaan tenaga kerja di perdesaan. Strategi pengembangan alsintanmelaluisistem kelembagaan UPJA, dengan pertimbangan : (1) Kemampuan petani dalam mengolah lahan usahatani terbatas (0,5 ha/MT); (2) Pengelolaan Alsintan secara perorangan kurang efisien; (3) Tingkat pendidikan dan ketrampilan petani yang rendah; (4) Kemampuan permodalan usahatani yang lemah; dan (5) pengelolaan usahatani yang tidak efisien.

Sedangkan fungsi utama kelembagaan UPJA yaitu melakukan kegiatan ekonomi dalam bentuk pelayanan jasa alsintan dalam penanganan budidaya seperti jasa penyiapan lahan dan pengolahan tanah, pemberian air irigasi, penanaman, pemeliharaan; perlindungan tanaman termasuk pengendalian kebakaran; maupun kegiatan panen, pasca panen dan pengolahan hasil pertanian seperti jasa pemanenan, perontokan, pengeringan dan penggilingan padi; termasuk mendorong pengembangan produk dalam rangka peningkatan nilai tambah, perluasan pasar, daya saing dan perbaikan kesejahteraan petani.

Pola Pengembangan UPJA

Peralatan dan mesin pertanian (seperti traktor pengolah tanah, perontok padi/gabah, pompa air, dan penggilingan) merupakan bagian dari faktor produksi usaha pertanian di perdesaan, khususnya padi sawah, yang telah lama dikenal dan sangat dibutuhkan masyarakat perdesaan. Peralatan dan mesin pertanian dengan bahan bakar bensin dan solar merupakan hasil kemajuan industri yang mendorong kemajuan pertanian tradisional di perdesaan. Penggunaan alsin pada pertanian padi sawah di perdesaan bukan saja dilatarbelakangi oleh alasan peningkatan efisiensi usaha ekonomi.

Peralatan pertanian mekanis lainnya, seperti traktor tangan (untuk pengolahan tanah), thresher, dan pompa air, pada akhirnya telah menjadi kebutuhan petani untuk mengoptimalkan pengelolaan lahan usahatani padi sawah. Secara umum dapat dikatakan bahwa kecenderungan penggantian peralatan dari manual ke mekanis di bidang usaha pertanian tidak dapat dihindari lagi karena alasan teknis (luasnya lahan sawah) ekonomi. Penggunaan peralatan mekanis dapat dijadikan sebagai salah satu indikator tingkat kemajuan sistem pertanian di suatu wilayah atau daerah.

Kelembagaan Upja

Berdasarkan tingkat kemampuannya, UPJA dapat dibagi menjadi tiga kelas (Direktorat Alat dan Mesin Pertanian, 2011), yaitu: (1) UPJA Pemula, yaitu kelompok UPJA yang belum berkembang karena hanya memiliki jumlah alsin pertanian 1-4 unit dengan 1-2 jenis alsin pertanian (6.538 UPJA); (2) UPJA Berkembang, yaitu kelompok UPJA yang telah berkembang dengan jumlah alsin pertanian 5-9 unit dengan 3-4 jenis alsin pertanian dan telah memiliki sistem organisasi lengkap (2.344 UPJA); dan (3) UPJA Profesional, yaitu kelompok UPJA yang telah optimal dan telah memiliki alsin pertanian lebih dari 10 unit dengan lebih dari 5 jenis alsin pertanian (892 UPJA). Walaupun sudah lebih dari satu dasawarsa sejak program UPJA diimplementasikan, belum ada pemahaman yang sama oleh berbagai pihak terkait mengenai pengertian tentang UPJA sendiri. Perbedaan ini membawa implikasi pada kegiatan pembinaan dan data yang didokumentasikan oleh dinas (Dinas Pertanian setempat).

Tujuan akhir dari introduksi UPJA adalah keberadaan UPJA yang profesional. Namun jika melihat data yang ada, proporsi UPJA pemula masih sangat dominan, sedangkan UPJA Profesional kurang dari 1 persen dari seluruh jumlah yang ada. Ditambah dengan perubahan status kemampuan dari kelas pemula ke kelas berkembang atau dari kelas berkembang ke kelas profesional yang sangat lambat, kondisi ini menunjukkan ada permasalahan dalam penumbuhan dan pengembangan kelembagaan UPJA. Kelembagaan UPJA didukung oleh berbagai pelaku dengan posisi dan peran yang berbeda-beda, demikian pula kekuatan tawarnya dalam menentukan aturan main yang berlaku. Oleh karena itu, permasalahan yang ada dalam kelembagaan UPJA perlu ditelusuri pada masing-masing elemen kelembagaan tersebut.

Keberadaan UPJA oleh anggota dan pengurus lebih dipandang sebagai sarana untuk sekedar memperlancar aktivitas usahatani. Jika lahannya sudah terolah dengan baik atau sudah cukup terairi atau hasilnya sudah dipanen sesuai dengan keinginan anggota dan pengurus UPJA, maka dianggap bahwa keberadaan UPJA sudah berfungsi sebagaimana seharusnya. Pengurus dan anggota UPJA umumnya kurang memikirkan apakah UPJA memperoleh keuntungan dengan aktivitas melayani berbagai pekerjaan di usahatani mereka, apakah hasil dan keuntungan yang diperoleh mampu digunakan untuk merawat peralatan yang ada dengan baik dan bahkan mengembangkannya. Perhatian utama masih pada penyelesaian pekerjaan usahatani, belum pada UPJA sebagai suatu usaha/bisnis. Kondisi seperti itu terutama terjadi pada UPJA yang merupakan bagian dari kelompok tani/gapoktan.

Dari hasil rapat koordinasi tingkat penyuluh pertaninan di BPP Benteng Bontoharu telah disepakati Desa Kalepadang sebagai Desa pertama yang ditunjuk untuk pembetukan kelembagaan UPJA di wilayah binaan BPP Benteng Bontoharu.

Hari ini rabu 25 Agustus 2021, Pemerintah Desa Kalepadang Kec. Bontoharu melaksanakan pembentukan kelembagaan UPJA. Acara ini dibuka langsung oleh Kepala Desa Kalepadang. Turut hadir dalam acara tersebut Sekertaris Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kab. Kepulauan Selayar, (Agus Salim, SP), Pembina Wilayah Kec. Benteng Bontoharu (Datulangi, S.ST),  Koorditar BPP Benteng Bontoharu (Umi Azimar) serta PPL Desa Kalepadang (Jubair, A.Md).Dalam sambutannya Agus Salim, SP menjelaskan secara singkat peran dan fungsi kelembagaan UPJA yang akan dibentuk nantinya. Salah satunya adalah bagaimana menginventarisir dan memanfaatkan bantuan-bantuan alsintan yang telah masuk di Desa kalepadang.

Memasuki sesi diskusi yang berlangsung alot dipandu oleh Umi Azimar peserta yang hadir telah menyepakati untuk nama UPJA adalah KARESO BERSAMA.




PENULIS : DATULANGI, S.ST


Sumber : 

https://media.neliti.com/media/publications/55579-ID-pola pengembangan-kelembagaan-upja-untuk.pdf

https://www.yumpu.com/id/document/view/15364985/pedoman-teknis-pengembangan-upja-mandiri




1 komentar:

PEMANFAATAN SARANA DIGITAL BPP BENTENG BONTOHARU SEBAGAI MEDIA PENYULUHAN

  Perkembangan teknologi di era digitalisasi 4.0 menuntut penyuluh pertanian untuk memiliki kemampuan Internet of Things (IOT), Teknologi 3D...